Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

FENOMENA KEPEMIMPINAN JOKO WIDODO


DITULIS OLEH ARIES MUSNANDAR   
SELASA, 27 DESEMBER 2011 11:19
Memilih pemimpin yang tepat bukan perkara ringan, demikian pula menjadi pemimpin bukan sesuatu yang mudah.
Dalam rubrik opini di salah satu media massa nasional beberapa waktu lalu penulis pernah mengungkapkan betapa perlunya kita memberlakukan sistem penilaian kinerja pemimpin (Presiden) yang obyektif dan terukur. Jika kita mempunyai model pemimpin yang dapat dianggap berhasil maka kekecewaan yang dilontarkan pemerhati kinerja atas kualitas kerja pejabat Negara akan berkurang. Pemegang amanah rakyat belum mampu menjadi faktor penggerak inspiratif dalam mewujudnyatakan segala potensi dan kekayaan bangsa. Sepanjang partai politik masih mengandalkan popularitas ketimbang hasil kerja dalam menjaring calon-calon pemimpin bangsa, selama itu pula kita masih belum mendapat pemimpin sesungguhnya yang didambakan rakyat.

Penyadaran terhadap pentingnya pejabat (elit pemimpin) berperilaku pro rakyat dengan menunjukkan empati sosial tampaknya mendesak diperlukan mengingat sudah 66 tahun merdeka  ternyata Negara kaya sumber daya alam ini rakyatnya banyak yang belum sejahtera. Dalam konteks empati sosial Batson (2009) mengungkapnya sebagai   "empathy-altruism" atau empati altruistik yakni sikap menolong orang lain (rakyat) tanpa pamrih bahkan bersedia mengabaikan kepentingan dirinya sendiri. Jikalau dia seorang pemimpin maka pemenuhan keperluan dan kepentingan rakyatnya yang diutamakan terlebih dahulu. Pemimpin seperti ini tidak akan pernah memikirkan gaji dan atau fasilitas. Pikiran dan dedikasinya tertuju semata-bata bagi orang yang dipimpinnya yang memberikan amanah untuk memimpin.
Dalam sejarah keagamaan kita bisa memahami perilaku/sikap empati altruistik para Nabi yang berhasil mendarmabaktikan dirinya secara total untuk kepentingan umat semata-mata memenuhi perintah sang Maha Kuasa. Oleh karena itu sikap pro rakyat elite bangsa ini perlu contoh kongkrit pemimpin yang sukses mendayagunakan segala komponen kekuasaan dimiliki dan dicurahkan penuh pada pengentasan problem sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks tersebut diatas dan di tengah krisis kepemimpinan nasional/lokal yang melanda Tanah Air, muncul sosok Joko Widodo, Walikota Solo yang dianggap sukses, sehingga dipercaya kembali untuk periode kedua dengan dukungan 91% suara rakyat.  Walikota ini menjadi tersohor ditengah miskinnya cara memimpin elite di negeri ini yang begitu eksklusif dan tampak feodalistik dalam arti lebih banyak menerima laporan ketimbang turun menyaksikan serta merasakan langsung penderitaan rakyat yang dipimpinnya. Sehingga kehadiran sosok yang berbeda dengan elite kebanyakan ini bagai menemukan air di padang pasir gurun sahara.

Pro Rakyat dan Contoh Nyata
Joko Widodo yang akrab disapa dengan Jokowi yang berlatar belakang pengusaha itu jeli dalam melihat manfaat pasar tradisional daripada minimarket, mal atau sejenisnya. Memberdayakan pasar tradisional dengan merenovasi dan membangun yang baru ternyata mendatangkan pendapatan daerah yang lebih besar. Tidak kurang Rp. 19,2 miliar masuk kas pemda dari hasil retribusi harian pasar tradisional. Sebelumnya pendapatan dari pasar hanya Rp. 7,8 miliar berarti terdapat peningkatan lebih dari dua kali lipat. Orientasi pada pasar tradisional ini bertolak belakang dengan sebagian besar pejabat di daerah yang sangat senang meresmikan acapkali pasar-pasar modern tersebut.
Sebagai seorang pengusaha Jokowi juga merasakan betapa Negara ini memiliki aturan berbelit-belit, terlalu prosedural. Padahal dunia usaha mengutamakan pekerjaan yang efektif dan efisien. Lalu Jokowi memangkas birokrasi perizinan. Sistem pelayanan pembuatan KTP juga ditata, sehingga orang membuat KTP hanya satu jam selesai dengan biaya pasti sesuai perda yakni lima ribu rupiah. Demikian pula saat merelokasi pedagang kaki lima (PKL) Jokowi melakukan pendekatan humanis dan kekeluargaan sekaligus professional, sehingga pemindahan berjalan lancar. Promosi PKL di tempat baru dibantu Pemda. Hasilnya nyata, omset PKL naik berlipat-lipat dari pada di lokasi sebelumnya.
Ini adalah contoh dari keberhasilan Jokowi mengelola kekuasaan dengan sepenuh hati bekerja untuk rakyat. Kesuksesannya dalam memimpin juga ditunjang oleh sikap bersahaja. Jika biasanya sebagai pejabat baru akan memperoleh mobil dinas baru dan bagus, Jokowi cukup menggunakan mobil bekas pejabat sebelumnya.Sikap seperti ini yang patut diteladani oleh para elite pejabat dan pemimpin kita yang lain.
Pemimpin sukses harus mampu memberikan contoh dan keteladanan bagi rakyat yang memang membutuhkannya (social learning theory: Albert Bandura 1977). Berbagai
Perilaku pejabat yang menunjukkan tumpulnya rasa empati terhadap kesusahan hidup rakyat tentu harus dikikis habis. Oleh sebab itu, sebaiknya untuk saat ini fasilitas mobil dan  rumah dinas  mewah, penaikan gaji pejabat dan berbagai fasilitas lain yang pada prinsipnya malah menambah kesejahteraan pejabat tidak pantasdilakukan. Jika pejabat tidak memiliki kesadaran seperti Jokowi, maka pemimpin diatasnya mungkin  perlu "memaksa" para pejabat di jajarannya meningkatkan empati altruistik kepada rakyat.
Pengeluaran biaya fasilitas pejabat Negara  yang terkesan pemborosan mestilah dihilangkan dari anggaran belanja Negara. Ini berarti pejabat harus berpikir beribu kali sebelum mengusulkan anggaran studi banding, renovasi rumah dinas dan pembangunan gedung DPR, dana aspirasi yang tidak etis dan kurang layak. Bahkan gaji ke 13 Pejabat Negara pun "haram" diterima, perlu disumbangkan semuanya kepada para fakir miskin.
Pemimpin harus "menggulung lengan baju" untuk turun kebawah, merasakan dan melakukan tindakan strategis menolong kesusahan hidup yang di derita rakyat. Apabila fenomena seperti ini tampak dalam kegiatan pemerintahan kita, maka sang pejabat telah memberikan teladan bagi jajaran dibawahnya. Suatu pendidikan sosial yang bermanfaat. Rakyat akan merasa diperhatikan oleh pemimpin, sehingga prosedur kaku keprotokolan dengan sendirinya tidak lagi diperlukan. Pemimpin yang tulus ikhlas membantu rakyat akan disenangi rakyat. Pemimpin dan rakyat telah menyatu.
Tetapi jikalau mendapatkan sesuap nasi saja sulit, maka efek dominonya akan dapat menjalar ke persoalan lain yang lebih runyam seperti aksi anarkisme, kekerasan, ketidakdispilinan dan kesemrawutasn sosial lain. Oleh karena itu diperlukan sikap empati altruistik pejabat kepada rakyatnya melalui pendekatan yang pro rakyat sebagaimana telah dicontohkan dan diwujudnyatakan oleh Jokowi sang Walikota Solo.
Akhirnya, para elite Parpol sudah saatnya kini mulai "melek" dengan fenomena kepemimpinan Joko Widodo.dalam menjaring calon-calon pemimpin bangsa berkualitas. Orang-orang seperti Jokowi telah terbukti kinerjanya secara obyektif dan terukur perlu masuk dalam nominasi. Jangan lagi salah memilih pemimpin. Jangan memilih hanya berdasar popularitas subyektif.  Pilihlah (apalagi untuk memilih Presiden) berdasarkan rekam jejak obyektif hasil unjuk kerja sebelumnya yang terukur, spesifik dan bermanfaat.
ARIES MUSNANDAR
Peserta Program Doktor Manajemen PI-PPs Universitas Islam Negeri Malang
Staf Pengajar FE UB.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar